Golongan Putih Melawan
Ditulis oleh Hendra Hidayat
Saat poros politik nasional memanas dengan pemilu, muncul beberapa orang yang mengatasnamakan Golput (kelompok putih). Sebelum mengeluarkan fatwa
Ibarat jamur di musim hujan, muncul belang putih bahkan menjadi tren di negara kita. Saksikan pemilihan gubernur kemarin. Komisi Pemilihan Umum (GEC) mengatakan lebih sedikit orang yang memberikan suara daripada yang abstain. Misalnya, pada pemilihan gubernur Jawa Barat, jumlah pemilih yang berhak mencapai 40% dan yang memilih Golput mencapai 60%. Berkat fenomena ini, efisiensi pemilu mulai diperhitungkan, dan biaya penyelenggaraan pemilu mencapai 50 triliun. Bayangkan jika dana itu disalurkan ke orang-orang, itu mungkin cerita yang berbeda.
Fenomena ini bukan tanpa alasan, penulis mencatat, ada pemicu utama yang membuat fenomena ini menjadi tren. Pertama, adanya ketimpangan sosial antara pemilih dan pejabat terpilih. Rakyat sudah muak dengan begitu banyak calon bermasalah, rakyat muak dengan janji yang diingkari, dan rakyat muak dengan politisi yang malas. Melalui fenomena ini, orang berpikir, mengapa saya harus memilih?
berakhir seperti ini.
Kedua, adanya rasa gengsi yang berlebihan di kalangan pemilih, masyarakat tersebut umumnya tidak memiliki pendirian yang teguh, mereka membatasi diri dengan abstain, tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Meskipun kelompok-kelompok ini harus didorong untuk mengkomunikasikan poin-poin baik dan buruk dari pemungutan suara.
Dan sekarang pemilu?
Jika dihitung hari, mungkin tinggal satu hari lagi menjelang pemilu, penulis memperkirakan dengan pesimis jumlah yang abstain akan berkurang. Apalagi mengingat banyaknya partai, calon wakil rakyat dan tentu saja janji murah para calon tersebut. Masyarakat tentu saja tahu apa yang harus dipilih dan apa yang tidak boleh dipilih.
Kita harus menggunakan fenomena ini sebagai titik referensi dan dukungan dan mencegah pantang menjadi fenomena normal. Kita harus lebih berhati-hati dengan hal ini, tertahan bukan karena keinginan untuk menjatuhkan bangsa, tetapi karena kritik dari para founding fathers bangsa saat ini. Partai politik harus bisa mengendalikan diri dan memperbaiki apa yang harus mereka lakukan di masa depan. Jangan memilih kandidat yang akibatnya akan bermasalah.
Prinsipnya tentu saja memilih caleg itu bukan membeli babi dalam karung, perlu jeli dan tahu persis apa visi dan misi masing-masing caleg, yang otomatis kita makan sendiri. Tidak bisa dipungkiri, penjualan caleg adalah janji dan realita, jangan memilih caleg yang janjinya berlebihan tapi dipertanyakan implementasinya. Jika kejadian ini terus berlanjut, saya yakin bangsa kita tidak akan maju, yang pada akhirnya akan berujung pada aksi unjuk rasa dan aksi penolakan terhadap pemimpin baru.
Apakah penduduk Galputi dalam bahaya?
Setelah fenomena golput ramai diperbincangkan, fenomena semacam itu dikhawatirkan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. Fenomena seperti itu bukan hanya soal kebutaan atau ketiadaan petunjuk, tapi soal ideologi pemilih. Selain itu, baru-baru ini para pemimpin nasional secara terbuka menyerukan pantang.
Dalam konteks abstain yang tampaknya mendesak, penyelenggara pemilu dan mitranya khawatir fenomena ini semakin meluas dan diperlukan tindakan khusus, atau agak keras. Mereka tidak percaya bahwa mengadakan pemilu adalah kehidupan banyak orang. Orang dan biaya tidak rendah.
Misalnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melarang orang yang dicabut haknya, aturan yang diadopsi untuk mengurangi jumlah kelompok kulit putih. Tujuan lain mungkin juga untuk memastikan bahwa pilihannya tidak hilang, tetapi apakah analogi dan solusinya benar?
Saya sendiri berpikir kalau aturannya kurang tepat, kenapa? Pertama, kita harus ingat bahwa pada pemilu mendatang kita akan menggunakan hak pilih kita, bukan kewajiban kita untuk memilih. Apa yang disebut hak, tentu saja, dapat dilaksanakan atau tidak. Tapi sepertinya keputusan itu memaksa kita untuk memilih, saya khawatir banyak orang Indonesia, banyak yang masuk neraka.
Kedua, jawaban atas fenomena pantang jangan sampai seperti itu, melainkan bagaimana elite politik memulihkan pendapat dan perilakunya yang berujung pada suaka. Dan pemilu berikutnya? Menjadi Galuput, terserah Anda, hak pilih ada di tangan kami. Pesan saya satu-satunya adalah jangan memilih kandidat atau partai yang visi dan misinya tidak jelas. Mengapa memilih ketika itu hanya kulit?
TERIMA KASIH
Gendry Hidayat
Mohon maaf, artikel ini bukan bermaksud untuk membuat anda abstain, namun bagaimana agar kita sebagai masyarakat bisa cerdas, mengenal dan cermat dalam memilih caleg?
Ingatlah bahwa nasib bangsa ditentukan oleh Anda.
0 Response to "Golongan Putih Melawan"
Posting Komentar