Pahlawan di Tengah Krisis Zaman


Henry R.

Kompas.com
SABTU, 19 DESEMBER 2009

Baca Juga


Kami adalah orang-orang yang mengadakan pesta pora untuk memperingati nilai dan makna kepahlawanan. Selain itu, istilah tersebut sering muncul dalam bahasa sehari-hari di media, film, buku, dan komik. Apa itu pahlawan?

Coba tanyakan kepada anak-anak Anda atau generasi muda pahlawan apa yang mereka kenal. Apakah Anda tahu karakter kartun Jepang dan Amerika selain Pangeran Dipenagar, Bung Tom, Tuanku Imam Bonjol, Sultan Agung atau Sukarno? Yang lebih mengejutkan lagi adalah pendirian patung Obama di Menteng, yang seolah melambangkan dirinya sebagai pahlawan negeri ini. Tapi benarkah posisinya lebih tinggi dari Tan Malaka?

Seiring dengan perubahan zaman, perubahan nilai-nilai etika, adat istiadat dan teknologi mulai merambah segala bidang kehidupan bangsa ini. Saat itu bangsa Indonesia merasakan beban globalisasi yang berkedok modernisasi. Terkadang perubahan tersebut mengarah ke arah yang positif, namun tidak dapat dipungkiri bahwa ada juga perubahan negatif yang menimbulkan kecemasan. Pengaruh negatif tersebut akan terlihat dalam kehidupan generasi muda saat ini, apalagi jika mereka menghayati dan mengamalkan nilai kepahlawanan.

Pada prinsipnya pembentukan nilai-nilai kepahlawanan pada generasi muda harus dilakukan sejak usia dini. Urgensi harus dicapai mengingat zaman perubahan yang semakin nyata. Perkembangan komik, televisi, internet dan media massa lainnya lambat laun menggerogoti nasionalisme generasi muda. Erosi ini memanifestasikan dirinya dalam etika, budaya, perilaku sosial dan gaya hidup. Kecenderungan materialisme dan hedonisme menghapus tinta sejarah bangsa ini, nilai-nilai kepahlawanan.

Hal lainnya, generasi muda kita juga sangat lekat dengan pemujaan terhadap pahlawan fiktif ciptaan negara asing. Di satu sisi, ini ironis, karena pemuliaan pahlawan asing akan berdampak besar pada perkembangan anak. Bukan hanya nilai dan moral yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia, tetapi dalam prakteknya budaya bangsa ini akan tergantikan oleh budaya asing. Tentu kita masih ingat ketika kekerasan terhadap anak disebabkan oleh tayangan buruk seperti SmackDown, yang merupakan bukti nyata betapa buruknya mempertahankan budaya di tengah dekadensi zaman.

Mengapa pahlawan fiksi yang dibuat oleh negara asing lebih terhubung dengan kehidupan generasi yang sedang tumbuh? Sangat sederhana karena media mengubah karakter menjadi konsumsi publik. Anak-anak tanpa pengawasan orang tua mungkin tidak tahu siapa yang mendirikan dan memperjuangkan negara ini. Suka tidak suka, generasi muda saat ini sedang mengalami kemerosotan nilai-nilai kepahlawanan. Mereka menyukai animasi Jepang dan karakter fiksi seperti Paman Sam. Sementara itu, mereka kehilangan atau tidak mengetahui sifat dan nilai kepahlawanan. Meski saling kenal, mereka hanya mengingat nama-nama dari buku sejarah.

Penerapan nilai-nilai kepahlawanan harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Jika politisi mengetahui dan memahami pentingnya pahlawan nasional, mereka jelas tidak akan mengenal korupsi. Keberanian kepahlawanan tidak akan mengkhianati ketertiban dan akan menjaga kesetiaan rakyat. Realitas ini harus ditanamkan dalam benak generasi muda.

Jika memikirkan masa depan, peran orang tua, lingkungan dan negara tentunya diperlukan. Setidaknya orang tuanya mengajarkan nilai-nilai kepahlawanan tersebut di tingkat keluarga, jangan sampai semangat dan nilai-nilai kepahlawanan hanya berlaku dalam formalitas pendidikan yang sederhana. Karena pendidikan sejarah dan kewarganegaraan generasi muda hanya digunakan sebagai kebutuhan untuk mewujudkan nilai-nilai akademik, bukan untuk menghayati dan mengamalkan nilai-nilai kepahlawanan. Yang perlu ditekankan kembali adalah generasi tua harus menyerahkan rantai kepemimpinan kepada generasi penerus yang memiliki nilai-nilai kepahlawanan yang luhur.

Selain itu, peran pendidik di bidang akademik sangat penting, selain menjelaskan nilai-nilai dan semangat pahlawan nasional, mereka menerapkan konsep transformasi perjuangan generasi muda. Jika para pahlawan masa lalu menggunakan ototnya untuk memperjuangkan bangsa ini, generasi muda harus tahu dan memahami posisinya. Adu otak adalah senjata bangsa ini untuk maju dan setidaknya terus menegakkan cita-cita juang. Namun, sebenarnya banyak konflik antar pelajar, jika tidak bisa dijadikan bagaimana generasi sekarang lebih banyak menggunakan otot daripada otaknya, sungguh ironis. Generasi muda tidak boleh memposisikan diri sebagai penjajah di negerinya sendiri.

Selain itu, peran negara memiliki dampak yang signifikan. Menerbitkan buku, pamflet, atau ringkasan dapat dilihat sebagai penarik oleh generasi muda. Media massa telah menjadi santapan kehidupan modern. Maka sudah selayaknya pemerintah mencoba menggunakan media dalam kampanye mengembalikan nilai-nilai kepahlawanan. Misalnya, film-film yang bernuansa kepahlawanan dan mengangkat aspek moralitas bangsa yang dijadikan sinetron. Jangan biarkan diri Anda melihat dan meniru budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia.

Kreativitas bangsa ini juga patut dipertanyakan. Jika bangsa ini mau berusaha, pasti akan ada karya yang mencerminkan kepahlawanan bangsa ini. Misalnya membuat komik, sinetron, buku dan novel, atau bahkan membuat video game yang menonjolkan karakter bangsa. Proses kreatif semacam itu setidaknya menyembunyikan gagasan bahwa nilai kepahlawanan hanya digunakan sebagai bahan dan pengetahuan dalam buku-buku sejarah. Biarlah tokoh-tokoh asing juga tidak diagungkan dan dimuliakan sebagai pahlawan bagi negeri ini, tetapi bangsa ini bahkan tidak mengenal para pahlawan yang bertekuk lutut di Tanah Air.

Namun, kita harus tetap optimis bahwa bangsa ini akan menjaga dan menjunjung tinggi nilai-nilai kepahlawanan. Semangat juang, kegigihan dan ketabahan, mengutamakan amanah rakyat, pemberantasan korupsi - inilah beberapa sifat pahlawan yang bisa kita teladani. Dari situ, kita bisa menghargai jasa para pahlawan dan menerapkan keteladanan tersebut dalam kehidupan kita sehari-hari. Setidaknya kita harus mengakui darah para prajurit yang membela negara ini dan benar-benar berduka bahkan di hadapan "Pahlawan" Obama.

Hendry RH lahir di Sumedang pada 4 Agustus 1989. Seorang mahasiswa di Universitas Pedagogik Indonesia (UPI) di Bandung, mempelajari bahasa dan sastra Indonesia. Kolumnis komunitas dan aktivis kampus. Menulis abstrak dan resensi. Aktif dan bergabunglah dalam komunitas sastra anak UPI www.anaksastra.blogspot.com.




Related Posts

0 Response to "Pahlawan di Tengah Krisis Zaman"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel