BAHASA YANG MELEGITIMASI



munaver aziz
Semangat Umat Minggu, 3 Mei 2009

2009 Menjelang pemilihan presiden 8 Juli akan semakin ditandai dengan perkelahian terencana, persaingan token dan perebutan legitimasi. Setelah menutup selama beberapa detik dan memeriksa taktik satu sama lain, ketiga calon presiden dan wakil presiden akhirnya menemukan bahwa mereka disayangi para pemilih. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Boediono (SBY-Boediono), Jusuf Kalla (JK)-Wiranto (JK-Win) dan Megawati Soekaarnoputri-Prabowo Subianto (Mega-Pro) sepakat untuk memperjuangkan kepemimpinan negeri ini.

Usai pemilihan umum, rasa sakit hati dan kemarahan yang ditimbulkan oleh keberadaan partai tersebut bercampur dengan keinginan dan perhatian untuk memperebutkan kursi presiden dan wakil presiden. Memoar dan biografi ketiga calon presiden dan wakil presiden mulai memenuhi halaman surat kabar, percakapan televisi yang meriah, dan obrolan ringan di Internet. Sejarah SBY sebagai presiden dari 2004 hingga 2009, setumpuk catatan menggambarkan sosok yang rendah hati dan berhati-hati dengan kesuksesan, kegagalan, dan skeptisisme. Boediono, seorang ekonom berpengaruh, adalah sosok yang kuat berbicara tentang perang; Antara pejuang ekonomi dan orang asing. Jussuf Kalla menghadirkan karakter yang kuat, gaya yang jujur, namun permainan yang cerdas. Lambat laun Wiranto mengembangkan stigma pendiam, lemah lembut, dan baik hati, namun ia tidak bisa lepas dari catatan kelam sejarah militernya yang menjadi tangga kariernya.

Sebagai tokoh antagonis, Megawati mewarisi kehebatan juang Bung Karno, meskipun ia tidak mampu mewarisi semua nilai dan praktik juang ayahnya. Menurut Gus Durr, citra mantan presiden itu masih terkesan "tenang" dan belum menampakkan kepintaran dan keuletan Soekarno dalam menyusun strategi politik. Sebagai tokoh militer, letnannya, Prabowo Subianto, tak luput dari noda hitam pelanggaran HAM. Namun akhir-akhir ini, citra Prabhu telah ditingkatkan sepenuhnya melalui publisitas, gerakan politik, dan promosi partainya yang didukung oleh berbagai kalangan. Para pahlawan dari ketiga pasangan tersebut saling bertarung, terkadang menjaga jarak, membangun benteng pribadi, dan membentuk otokrat.


Padahal pergulatan bahasa untuk membangun legitimasi diri dapat dilihat dalam persaingan politik Pilpres 2009. Ruang politik bergejolak dengan persaingan bahasa yang merasuki, mengolok-olok, namun terkadang menyelubungi pembelaan diri. Sarkasme sering muncul bersamaan dengan seminar, pertemuan pesta, atau perayaan publik. Media mengintensifkan pertarungan bahasa dalam jaringan kata dan berita. Simbol dan gambar saling melengkapi untuk menciptakan legitimasi bela diri.

SBY-Boediono mementaskan kalimat "kerja keras untuk rakyat". Pekerjaan pemerintah hanya terfokus pada upaya untuk kebaikan bersama. Orang ada untuk suatu tujuan, tetapi mereka sering menjauh.

JK-Wiranto hadir dengan slogan “Lebih cepat lebih baik”. Kecepatan ditetapkan sebagai prasyarat untuk membangun identitas yang baik. Kata "cepat" di sini untuk mengalahkan "pelan dan hati-hati" seperti yang diusung SBY. Satire hadir untuk menggoyahkan citra lawan, perjuangan terus menerus untuk membangun rasa percaya diri.

Pasangan Megawati-Prabov juga mencoba "membangun ekonomi". Pertanyaan yang sering diajukan ini merupakan komponen dasar dari karakter manusia. Dimensi ekonomi memperkuat jaringan tanda-tanda yang berperan sebagai catatan, pemikiran dan tujuan untuk mencapai empati. Jargon saling bertentangan, mendorong, mencabik-cabik, tetapi tetap berusaha serius untuk mendapatkan legitimasi.

Perang jargon akan semakin intensif menjelang pemilihan presiden 2009 (Pilpress). Arena politik penuh dengan pertarungan bahasa, ide, dan glamour, tetapi tidak ada kegigihan untuk memperjuangkan cita-cita. Ketiga pasangan capres dan cawapres juga menggunakan strategi komunikasi agar dekat dengan telinga pemilih dengan istilah yang singkat dan padat. Kata ini berarti optimisme, pesona, imajinasi, tetapi juga harapan.

SBY Barbodi menghadiri pengumuman pasangan SBY-Boediono di Bandung pada 15 Mei lalu. Meski cepat tergantikan karena desakan kelompok partisan dan partai politik, istilah itu tetap membekas di ring pilpres. JK-Wiranto mengharapkan kemenangan dengan "JK-Win". Optimisme terpancar dengan rangkaian gambar untuk merangkul kekuatan. Mega-Pro, Megawati-Prabowo Subianto menjadi simbol komunikasi yang efektif bagi tim pemenang. Seharusnya kata itu dipilih untuk menarik garis simpati dari PDIP-Gerindra untuk mendukung duet Presiden-Cavapres.

Perang bahasa akan terus meningkat dengan lahirnya kata-kata dan simbol-simbol baru yang ditanamkan dalam membangun harga diri. Ini adalah kompetensi politik linguistik yang menciptakan legitimasinya sendiri. ***

* Peneliti Pengamat Bahasa, Sepdes, Jakarta.

0 Response to "BAHASA YANG MELEGITIMASI"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel