Bahasa Indonesia Antara Gengsi dan Nasionalisme


Pengarang : Hendry R.H

Disadari atau tidak, bahasa Indonesia berperan besar dalam mencapai persatuan dan kesatuan bersama. Sumpah Pemuda tahun 1928 memperjelas bahwa bahasa Indonesia adalah satu bahasa dan digunakan sebagai satu bahasa, artinya bangsa kita terbiasa memahami tata bahasa. Hal ini kemudian ditegaskan dengan adanya undang-undang yang mengaturnya. UUD 1945 Bab XV Pasal 36 menyatakan bahwa “Bahasa Indonesia adalah bahasa negara”.

Pada tataran sosiolinguistik, keadaan bahasa di Indonesia saat ini terutama ditandai dengan adanya bahasa nasional, yaitu bahasa negara, yaitu bahasa Indonesia. Kedua, terdapat ratusan bahasa daerah di nusantara, dan ketiga, terdapat sejumlah bahasa asing yang digunakan atau diajarkan dalam sistem pendidikan formal. Ketiga bahasa ini masing-masing memiliki masalah, dan bersama-sama menciptakan masalah yang sangat kompleks yang perlu dipecahkan.

Itu tidak memiliki nilai jual kembali
Terdapat permasalahan mendasar dalam perkembangan bahasa Indonesia di era globalisasi budaya saat ini. Melihat fakta atas dasar bahwa bahasa Indonesia tidak memiliki nilai komersial sehingga masyarakat cenderung lebih memilihnya. dari penampilan aslinya

Aspek bisnis administrasi publik, misalnya. Kita cenderung berpikir bahwa menggunakan bahasa asing lebih memiliki nilai loyalitas daripada menggunakan bahasa Indonesia.

Dari sisi bisnis, penggunaan bahasa asing tentu menjadi perhatian. Cukup melihat toko-toko atau tempat keramaian lainnya, intensitas penggunaan bahasa asing semakin meningkat. Tentu saja hal ini tidak hanya dari segi bisnis yang menunjukkan marjinalisasi bahasa Indonesia, dari segi aplikasi misalnya bahasa Indonesia pada umumnya hanya digunakan untuk keperluan komunikasi. Kalaupun kita berani mengangkat pamor bahasa Indonesia, itu tentu soal lain. Misalnya menggunakan tes kemampuan berbahasa Indonesia.

Dibandingkan dengan bahasa Inggris yang sudah memiliki arti “gengsi”, Test of English as a Foreign Language (TOEFL) digunakan sebagai ukuran kemampuan penggunanya. Kenapa tidak tersedia di Indonesia? Orang akan bangga jika mendapatkan nilai TOEFL yang baik, tetapi tidak harus memiliki nilai yang baik pada tes kemampuan berbahasa Indonesia.

Orang yang melamar pekerjaan akan melanjutkan pendidikannya, dll. Skor TOEFL biasanya diperlukan untuk menyelesaikan tugas administratif. Padahal, jika bahasa Indonesia diimplementasikan seperti ini, masyarakat akan menyadari pentingnya bahasa Indonesia itu sendiri, bahkan memiliki nilai jual yang tinggi dan bersaing dengan bahasa asing. Mungkin ada gunanya berbicara tentang perlunya tes bahasa Indonesia, dan peran Lembaga Pembinaan dan Pembinaan Bahasa (LP3B) juga penting.


masalah prestise
Bahasa Indonesia harus digunakan sebagai alat komunikasi dalam berbagai aspek kehidupan, baik formal maupun informal. Dalam bidang pendidikan, bahasa Indonesia harus digunakan sebagai bahasa pendidikan, dan penggunaan ini harus terus meningkatkan rasa kebangsaan.

Nampaknya dengan terbangunnya rasa bangga dalam berbicara, orang akan merasa lebih pintar ketika berbicara bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Bahasa asing satu kelas lebih tinggi dari bahasa Indonesia. Orang Indonesia merasa malu jika tidak bisa berbahasa asing, meski belum tentu bisa berbahasa Indonesia dengan baik. Orang juga akan merasa lebih pintar ketika menggunakan bahasa asing daripada menggunakan bahasa Indonesia.

Dalam kondisi tersebut bahasa Indonesia harus tetap mempertahankan identitasnya, apalagi krisis kosa kata bahasa Indonesia mulai muncul. Banyak orang Indonesia lebih suka menggunakan kata, istilah, dan frasa asing. Meskipun kata, istilah, dan frasa ini sudah memiliki padanan dalam bahasa Indonesia, namun banyak digunakan dalam bahasa Indonesia. Misalnya unduh, salin, tempel, klik, klik, masing-masing, unduh, salin, klik, dan klik.

Mengapa orang Indonesia lebih suka menggunakan istilah asing? Mungkin mereka beranggapan bahwa bahasa maju adalah bahasa yang banyak menggunakan istilah-istilah aneh, dan mungkin tujuannya adalah untuk menyeimbangkan bahasa Indonesia agar sesuai dengan perkembangan zaman. Bahkan, hal ini membuat bahasa Indonesia kehilangan identitas. Jika dalam bahasa Indonesia sudah terdapat istilah-istilah tersebut, semoga bermanfaat untuk menggunakannya.

Tanggung jawab untuk memajukan atau mencabut bahasa Indonesia tentu saja berada pada pengguna bahasa itu sendiri. Kesadaran ini harus dikembangkan sejak awal. Tidak hanya mengedepankan aspek gengsi kebahasaan, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar tentunya akan turut mengembangkan rasa nasionalisme atau cinta tanah air. Memang, upaya tersebut harus didukung untuk melindungi bahasa Indonesia dari serangan budaya asing, terutama dalam budaya dunia yang mengglobal.

Dalam keadaan seperti itu kita harus memilih antara rasa bangga menggunakan bahasa asing atau rasa nasionalisme yang lebih obsesif.

biografi lengkap

Alias: 10.1708.040889.0005
Nama: Hendry Hedayat
Tanggal lahir : Somdan 08-04-1989
Alamat : Dsn Cikeusik RT 18 RW
Desa Pamkaran, Kik. Rankakalong
Daerah. Ali Awad Ali Ali Al-Shamrani 45361
Email: hencyber@gmail.com
Blog: anaksastra.blogspot.com

Hendri Hidayat lahir pada tanggal 4 Agustus 1989 di Sumedang. Mahasiswa di Universitas Normal Indonesia (UPI) Bandung, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Menulis esai dan puisi, aktif dan bergabung dengan mahasiswa jurusan jurnalisme Isola Post dan komunitas sastra anak UPI sebagai ketua jurusan bahasa di www.anaksastra.blogspot.com dan www.anaksastra.tk/.
Bergerak. 085220953141 BNI sesuai 0133308015 Hendry Hedayat.

0 Response to "Bahasa Indonesia Antara Gengsi dan Nasionalisme"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel