Semantik : Sejarah Ilmu Semantik
Semantik bahasa Indonesia berasal dari semantik bahasa Inggris, bahasa Yunani sema (kata benda) "to mark" atau samaino "to mark", "common". Istilah ini digunakan oleh ahli bahasa untuk merujuk pada bagian linguistik yang berhubungan dengan makna. Semantik adalah bagian dari tiga tingkatan bahasa, termasuk fonologi, tata bahasa (morfologi-sintaks) dan semantik.
Kata semantik baru berasal dari tahun 1984, dipopulerkan oleh American Philological Association, "Reflected Meanings. point in semantik" dalam artikel tersebut. Istilah semantik telah ada sejak abad ke-17 ketika dianggap di bawah filosofi semantik. Sejarah semantik dapat dibaca dalam artikel “An Account of the Word Semantics (Word, No.4 th 1948: 78-9)”. Brel mencetuskan istilah semantik sebagai cabang ilmu baru dalam esainya “Le Lois Intellectuelles du Language”, istilah dalam bahasa Prancis murni ilmu sejarah (historical semantik).
Semantik historis cenderung mempelajari semantik dalam kaitannya dengan unsur-unsur di luar bahasa, seperti perubahan makna dengan logika, psikologi, dll. (akhir abad ke-19).
Rissig (1825) sebagai salah satu ahli klasik mengembangkan pemahaman baru tentang tata bahasa, yang terdiri dari tiga komponen utama, yaitu: etimologi, ilmu yang mempelajari asal kata dalam kaitannya dengan perubahan bentuk dan makna; Sintaks, struktur kalimat dalam sematologi, tanda (makna). Semasiologi sebagai ilmu baru tidak diakui sebagai semantik pada tahun 1820-1925. Istilah semasiologi sendiri merupakan istilah yang dicetuskan oleh Reisig. Berdasarkan pemikiran Reisig, perkembangan semantik dapat dibagi menjadi tiga periode pertumbuhan, yaitu:
1. Periode pertama aktivitas perjalanan yang berlangsung selama setengah abad. Itu sebabnya Ullman menyebutnya periode "bawah tanah".
2. Tahap kedua, semantik sebagai ilmu sejarah murni, membawa pandangan Breal klasik (1883) dari sudut pandang semantik sejarah.
3. Perkembangan periode ketiga, yaitu penelitian semantik, ditandai dengan munculnya karya filolog Swedia Gustaf Stern (1931) berjudul “Meaning and Change with Special Reference to the English Language” Stern melakukan penelitian eksperimental tentang makna. .
Semantik pertama kali disebut sebagai ilmu tentang makna pada tahun 1990-an dengan diterbitkannya Essai de semantikue karya Brel, kemudian diikuti oleh karya Stern. Sebelum lahirnya karya Stern, bagaimanapun, materi diterbitkan di Jenewa, kumpulan ceramah oleh seorang guru bahasa yang sangat menentukan dalam perkembangan linguistik selanjutnya, Ferdinand de Saussure, yang disebut Cours de Linguistikue General. Pandangan Saussure menjadi pandangan strukturalisme. Menurut pandangan strukturalisme de Saussure, bahasa adalah suatu sistem yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berhubungan dan membentuk satu kesatuan (unified whole). Visi ini kemudian menjadi titik awal penelitian yang berdampak kuat di berbagai bidang penelitian, terutama di Eropa.
Setelah publikasi karya de Saussure, pandangan semantik berbeda dengan pandangan sebelumnya. Perbedaan tersebut meliputi:
1. Mulailah meninggalkan perspektif sejarah
2. Perhatian mulai bergantung pada struktur kosa kata,
3. Semantik mulai dipengaruhi oleh gaya
4. Studi semantik fokus pada bahasa tertentu (tidak lagi umum).
5. Hubungan antara bahasa dan pikiran mulai dipelajari karena bahasa merupakan kekuatan yang menentukan dan mengarahkan pikiran (perkembangan konsep ini diarahkan pada Sapirwerf, 1956 - Bahasa mencerminkan ras).
6. Semantik dipisahkan dari filsafat, tetapi ini tidak berarti bahwa filsafat tidak mendukung perkembangan semantik (perhatikan juga keberadaan semantik filosofis, cabang dari logika simbolik.
Pada tahun 1923, Ogden dan Richards menerbitkan buku “The Meaning of Meaning”, yang menekankan hubungan tiga unsur utama, yaitu “referent mind” (pemikiran) sebagai unsur yang mewakili makna tertentu, yang memiliki hubungan penting dengan referen. memiliki (referensi). . . . . Pikiran berhubungan langsung dengan simbol. Simbol tidak ada hubungannya dengan simbol (simbol). Senjata itu tidak sembarangan. Ketika datang ke makna, ahli semantik umumnya menemukan bahwa kata-kata berasal dari makna (kata benda) makna (kata kerja), yang memiliki banyak "makna" yang berbeda. Leech (1974) mencatat bahwa semantik sering tidak secara otomatis mempertimbangkan "makna makna" yang diperlukan untuk memulai studi semantik. Mereka sebenarnya cenderung menafsirkan semantik dalam kaitannya dengan ilmu lain; Para ahli sendiri masih berpendapat bahwa makna bahasa hanya dapat dipahami atau dikembangkan dalam istilah non-linguistik.
Istilah semantik juga dibedakan dari hal-hal lain: makna, semiosiologi, semiologi, semiotik, semitik, dan semiotik. Palmer (1976), Lyons (1977) dan Lech (1974) menggunakan semantik. Teacher (1974) berpendapat bahwa semantik merupakan bidang yang sangat luas karena mencakup unsur-unsur struktur dan fungsi bahasa yang erat kaitannya dengan psikologi, filsafat, antropologi, dan sosiologi. Antara lain, antropologi tertarik pada semantik karena analisis makna bahasa dapat memberikan klasifikasi budaya pengguna bahasa secara praktis. Filsafat berkaitan erat dengan semantik karena beberapa persoalan makna dapat dijelaskan secara filosofis (misalnya makna ungkapan dan peribahasa). Psikologi erat kaitannya dengan semantik karena psikologi menggunakan isyarat emosional yang diekspresikan orang secara verbal dan non-verbal. Sosiologi tertarik pada semantik karena frasa atau ekspresi tertentu dapat mengidentifikasi kelompok sosial atau identitas sosial tertentu.
Lanjutkan kosakata mata saya
0 Response to "Semantik : Sejarah Ilmu Semantik"
Posting Komentar