SELAMAT TIDUR SASTRA SEKOLAH
“Kami tahu novel, Bu. Tapi harganya terlalu tinggi untuk keuntungan kita.
Masalah sastra dan ajarannya sering dipersoalkan dalam setiap perbincangan budaya atau artikel surat kabar oleh para ahli (pakar sastra, ilmuwan budaya, serta beberapa kalangan yang menganggap kajian sastra itu penting). Mereka mengajukan sejumlah pertanyaan tentang realitas pendidikan. Informasi saja
masalah gosip bahkan lebih berulang. Secara khusus, menurut mereka, pengajaran sastra yang jauh dari idealisme dilakukan dengan lancar, tetapi tidak sembarangan sehingga terkesan membosankan bahkan bagi siswa tunanetra yang tidak menyukai sastra.
Kualitas guru, program, dan perpustakaan tidak menyenangkan dan buruk dalam hal studi literatur. Guru yang seharusnya menjadi panutan seringkali melakukan sesuatu yang berbeda dari apa yang diperintahkan. Selain pelajaran bahasa Indonesia, penerapan kurikulum yang besar dan mengesampingkan sastra juga menjadi tantangan serius. Singkatnya, mereka perlu mendapatkan perhatian kita.
Tapi bukankah bahasa dan sastra Indonesia saat ini diajarkan dalam kurikulum kompetensi? Kurikulum yang mengawasi agar seorang guru memberikan materi pembelajaran kepada siswa sesuai dengan kerangka yang ada. Artinya, program yang memberikan kebebasan kepada guru atau siswa untuk menyajikan materi dan mempelajari sesuatu sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itu, guru harus lebih kreatif dan siswa tidak boleh dihalangi untuk aktif.
Namun kenyataannya, salah seorang guru yang ditemui RD tak bisa memungkiri bahwa pembelajaran sastra di sekolahnya tertinggal jauh dari tujuan tersebut di atas. Padahal, inilah yang "membunuh" kreativitas, klaim kurikulum, yang memilih sastra sebagai mata pelajaran tambahan di kelas tata bahasa. Jadi secara tidak langsung bisa dipastikan bahwa slogan yang dibuat oleh otoritas TGS hanyalah slogan, atau lebih tepatnya palsu, mungkin gurunya sendiri tidak bisa menciptakan suasana sastra yang menyenangkan. rasa syukur
Ketika ditanya tentang studi sastranya di sekolah, Vawat Sethiawathy, yang sebelumnya dikenal sebagai Ny. Ukuran: Siswa dijadwalkan sebulan sekali dan mengembangkan keterampilan menulis. Sayangnya, bukan anak sekolah yang gemar membaca, melainkan teknologi, khususnya tayangan TV remaja saat ini.
Lulusan D3 FC ini, Yunila yang masih kuliah di STKIP Banten, pernah meminta mahasiswa membawa novel ke kelas dengan iming-iming menambahkan catatan di rapornya. Jadi apa yang mereka bawa? “Saya biasanya lebih suka menyebutnya stensil pinggir jalan. Lebih tepatnya, buku vulgar. Ketika dia bertanya kepada siswa mengapa, dia menjawab karena dia meniru cara siswanya berbicara. “Kami tahu novel, Bu. Tapi harganya terlalu tinggi untuk keuntungan kita.
Ada alasan mengapa menjadi dogma untuk menyuruh siswa membawa novel untuk digunakan sendiri. Mengapa tidak menyisihkan seribu rupee sehari? Novelnya bisa kamu beli dalam waktu sekitar dua minggu lho.
Jika hal ini terjadi di setiap sekolah, selain kurikulum yang mematikan kreativitas, sastra di sekolah pasti akan tertidur jika tidak segera diperbaharui.
Tapi siapa yang perlu memperbarui?
Ini masalah bersama, yaitu para pelajar, sastrawan, guru bahasa dan sastra, pimpinan kurikulum Kemendiknas, pecinta sastra rakyat, komunitas bahasa dan sastra kita seperti HPBI (Himpunan Pendukung Bahasa Indonesia), PGRI ()( Republik Indonesia) ) Ikatan Guru), dan unsur-unsur yang terkait dengan dunia, mengingat pentingnya sastra dalam pendidikan (sayangnya, saya tidak bisa memasukkannya dalam artikel di atas), jadi selamat malam segera. untuk mencegah masalah sastra di dunia pendidikan melalui bimbingan sastra, ide dan saran segar seperti kopi cair di sekolah yang sekarang dalam keadaan mengantuk literal.
Oleh karena itu, jika kita tidak terburu-buru untuk memulihkan sastra di lingkungan siswa, maka kita akan terburu-buru untuk mengucapkan selamat tinggal pada sastra di sekolah.
Diadaptasi dari Rumah Dunia
Masalah sastra dan ajarannya sering dipersoalkan dalam setiap perbincangan budaya atau artikel surat kabar oleh para ahli (pakar sastra, ilmuwan budaya, serta beberapa kalangan yang menganggap kajian sastra itu penting). Mereka mengajukan sejumlah pertanyaan tentang realitas pendidikan. Informasi saja
masalah gosip bahkan lebih berulang. Secara khusus, menurut mereka, pengajaran sastra yang jauh dari idealisme dilakukan dengan lancar, tetapi tidak sembarangan sehingga terkesan membosankan bahkan bagi siswa tunanetra yang tidak menyukai sastra.
Kualitas guru, program, dan perpustakaan tidak menyenangkan dan buruk dalam hal studi literatur. Guru yang seharusnya menjadi panutan seringkali melakukan sesuatu yang berbeda dari apa yang diperintahkan. Selain pelajaran bahasa Indonesia, penerapan kurikulum yang besar dan mengesampingkan sastra juga menjadi tantangan serius. Singkatnya, mereka perlu mendapatkan perhatian kita.
Tapi bukankah bahasa dan sastra Indonesia saat ini diajarkan dalam kurikulum kompetensi? Kurikulum yang mengawasi agar seorang guru memberikan materi pembelajaran kepada siswa sesuai dengan kerangka yang ada. Artinya, program yang memberikan kebebasan kepada guru atau siswa untuk menyajikan materi dan mempelajari sesuatu sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itu, guru harus lebih kreatif dan siswa tidak boleh dihalangi untuk aktif.
Namun kenyataannya, salah seorang guru yang ditemui RD tak bisa memungkiri bahwa pembelajaran sastra di sekolahnya tertinggal jauh dari tujuan tersebut di atas. Padahal, inilah yang "membunuh" kreativitas, klaim kurikulum, yang memilih sastra sebagai mata pelajaran tambahan di kelas tata bahasa. Jadi secara tidak langsung bisa dipastikan bahwa slogan yang dibuat oleh otoritas TGS hanyalah slogan, atau lebih tepatnya palsu, mungkin gurunya sendiri tidak bisa menciptakan suasana sastra yang menyenangkan. rasa syukur
Lulusan D3 FC ini, Yunila yang masih kuliah di STKIP Banten, pernah meminta mahasiswa membawa novel ke kelas dengan iming-iming menambahkan catatan di rapornya. Jadi apa yang mereka bawa? “Saya biasanya lebih suka menyebutnya stensil pinggir jalan. Lebih tepatnya, buku vulgar. Ketika dia bertanya kepada siswa mengapa, dia menjawab karena dia meniru cara siswanya berbicara. “Kami tahu novel, Bu. Tapi harganya terlalu tinggi untuk keuntungan kita.
Ada alasan mengapa menjadi dogma untuk menyuruh siswa membawa novel untuk digunakan sendiri. Mengapa tidak menyisihkan seribu rupee sehari? Novelnya bisa kamu beli dalam waktu sekitar dua minggu lho.
Jika hal ini terjadi di setiap sekolah, selain kurikulum yang mematikan kreativitas, sastra di sekolah pasti akan tertidur jika tidak segera diperbaharui.
Tapi siapa yang perlu memperbarui?
Ini masalah bersama, yaitu para pelajar, sastrawan, guru bahasa dan sastra, pimpinan kurikulum Kemendiknas, pecinta sastra rakyat, komunitas bahasa dan sastra kita seperti HPBI (Himpunan Pendukung Bahasa Indonesia), PGRI ()( Republik Indonesia) ) Ikatan Guru), dan unsur-unsur yang terkait dengan dunia, mengingat pentingnya sastra dalam pendidikan (sayangnya, saya tidak bisa memasukkannya dalam artikel di atas), jadi selamat malam segera. untuk mencegah masalah sastra di dunia pendidikan melalui bimbingan sastra, ide dan saran segar seperti kopi cair di sekolah yang sekarang dalam keadaan mengantuk literal.
Oleh karena itu, jika kita tidak terburu-buru untuk memulihkan sastra di lingkungan siswa, maka kita akan terburu-buru untuk mengucapkan selamat tinggal pada sastra di sekolah.
Diadaptasi dari Rumah Dunia
0 Response to "SELAMAT TIDUR SASTRA SEKOLAH"
Posting Komentar