Analisis Teater : Air ,“ Mahluk yang Teraniaya”


Pengarang : Hendry HR

Air pada umumnya tergolong sebagai unsur yang diperlukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun dari perspektif saat ini, air tergolong sebagai "entitas yang selalu disalahgunakan", mulai dari pencemaran lingkungan hingga tindakan yang tidak mencerminkan kelestariannya.

Berbicara tentang masalah lingkungan tidak terlepas dari masalah pohon, tanah dan air. Kehidupan dan perilaku seseorang sangat bergantung pada hal ini. Apa yang Anda harapkan jika hutannya tipis? Apa yang kita tanam jika tanah tercemar? Begitu pula jika sumber air tercemar, apa yang bisa kita minum? Kita semua mengetahui hal ini, namun sayangnya apa yang kita ketahui seringkali tidak dijadikan pedoman dalam kehidupan. Kami lebih suka kehancuran untuk mendukung.

Begitulah gambaran manusia masa kini, namun mereka mencoba menggambar ulang bentuk sketsa karya Iman Saleh yang dikenal di dunia teater sebagai "Bayu". Sudah beberapa kali dipentaskan, terakhir dipentaskan di Taman Budaya Dago. Ia mencoba mengkritisi perilaku sosial yang telah menjadi budaya buruk.


Air yang menjadi tumpuan kehidupan memang digambarkan dalam adegan ini sebagai unsur yang langka, begitu langka sehingga manusia harus bekerja keras untuk mendapatkannya, namun semua itu tidak mudah, karena manusia juga ditindas oleh sesuatu yang mengerikan yang; kematian . .

Cerita diawali dengan munculnya pergulatan fisik dengan permainan cahaya. Tandai sebagai saran. Tiga pria muncul di luar layar membawa balon mirip burung. Kemudian, di tengah adegan, burung-burung itu dibujuk untuk bergerak dalam lingkaran kebebasan.

Begitu cahaya bergerak, dua sosok muncul dengan tongkat di tangan mereka. Mereka mencoba memindahkan tongkat, menabrak tanah dan menggali. Tentu saja, mereka mengekstraksi air, yang kini menjadi komoditas langka. Namun perjuangan mereka sia-sia dan pada akhirnya mereka harus mengorbankan nyawa dalam perjuangan tersebut.

Darah, yang sekarang mulai meresap ke dalam tanah bukannya air, mulai menyembur keluar. Mereka mulai menyerah pada perjuangan pelestarian lingkungan, khususnya air.

Di satu sisi, ada orang-orang perusak lingkungan yang dihadirkan dalam teater ini sebagai tokoh-tokoh yang tidak lagi membutuhkan lingkungan, tetapi ada juga orang-orang yang berusaha menjaga dan melestarikan lingkungan.

Di bagian terakhir teater, adegan di mana seorang pria berdoa kepada tuhannya membawa pesan yang sangat mencerahkan. Mungkin teater, yang pernah dijalankan oleh pendiri Center for Cultural Excellence (UCC), mendorong orang untuk melakukan lebih dari sekadar menabung. lingkungan, tetapi bagaimana bersyukur, terutama bersyukur kepada Tuhan.

Toh, pertunjukan teater bukan hanya gerakan tubuh dan suara aktor yang tidak berarti. Permainan air ini sarat dengan kritik sosial. Jangan sampai kehilangan pemahaman tentang esensi pertunjukan. Karena sebuah pertunjukan teatrikal bukan sekedar barisan ketangkasan yang hanya memuaskan satu pihak saja, melainkan melibatkan penonton yang keikutsertaannya harus menyampaikan pesan pertunjukan tersebut.

Artis dan lingkungan

Ada masalah mendasar yaitu perusakan lingkungan. Bukan hanya perusakan lingkungan akibat ulah manusia, tetapi juga ketidakpedulian manusia.

Ketidakpedulian ini tidak hanya diungkapkan oleh Iman Saleh dalam teaternya, namun seniman-seniman peduli lingkungan lainnya juga turut serta dalam acara lingkungan ini.

Band itu menyebutnya 100%, Oseng Percussion dan Ferry Curtis. Para seniman ini selalu berusaha menyampaikan pesan dan saran kepada masyarakat untuk menyelamatkan lingkungan.
Misalnya, Ferrie Curtis mencoba menyetel musik ke puisi karya Iman Salih berjudul "Awan Di Atas Pepohonan". Di tengah alunan nada dan irama piano, pendengar diajak untuk menyerap dan menghayati isi, maksud, dan tujuan puisi tersebut.

Memang, seniman dan mediumnya harus menjadi dua mata uang yang sepenuhnya terpisah, sehingga karya sastra tidak hanya berfokus pada kritik sosial atau politik. Seniman akan mampu menginspirasi publik tentang betapa pentingnya menghilangkan ketidakpedulian terhadap lingkungan. Setidaknya, inilah yang tercermin dalam pameran budaya bertema seni lingkungan.

Namun, seni pertunjukan diharapkan tidak terbatas pada wacana lingkungan yang diekspresikan di dunia, yang kemudian hanya sebatas nasihat verbal atau shock therapy belaka. Karena tingkat kerusakan lingkungan di negeri ini setiap tahunnya tidak berkurang, melainkan justru meningkat

Mungkin untuk menjawab perdebatan ini kita harus bertanya pada diri sendiri, sudahkah kita memperhatikan makhluk bernama air?

0 Response to "Analisis Teater : Air ,“ Mahluk yang Teraniaya”"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel